PERMAINAN TRADISIONAL GATHENG
SEBAGAI METODE PEMBELAJARAN PENGURANGAN SEKOLAH DASAR
Wikan Budiarti
NIM 29 015 149
Mahasiswa PGSD UST Yogyakarta
Abstrak
Matematika adalah ilmu universal yang
mendasari perkembangan teknologi modern, namun banyak siswa mengeluh karena
pembelajaran Matematika karena menganngap Matematika itu sulit dan menakutkan,
termasuk pada pembelajaran pengurangan. Guru dapat mengubah metode ceramah pada
pembelajaran penguranangan dengan metode permainan. Salah satu permainan yang
dapat dilakukan untuk pembelajaran pengurangan adalah permainan gatheng. Gatheng adalah permainan tradisional yang menggunakan alat
permainan berupa batu kerikil. Selama permainan berlangsusng, siswa secara
tidak langsung telah belajar konsep pengurangan. Guru mengawasi jalannya
permainan dan komunikatif terhadap siswa. Permainan tradisional gatheng ini juga sesuai dengan gaya
belajar semua siswa, baik gaya belajar auditori, visual, dan kinestetik. Aplikasi
permainan gatheng kedalam metode
pembelajaran pengurangan, diharapkan siswa tidak mengalami kebosanan dalam
belajar pengurangan dan mendapatkan pembelajaran dengan proses yang
menyenangkan.
Kata Kunci : Permainan Tradisional Gatheng,
Metode Pembelajaran, Pengurangan SD
A. Pendahuluan
Pada era sekarang
ini, Indonesia telah memasuki era pembangunan di segala bidang tak terkecuali pembangunan
di bidang pendidikan. Menurut Masrukan, salah satu fokus utama pembangunan di
bidang pendidikan adalah mengembangkan ilmu-ilmu dasar basic science. Ilmu-ilmu dasar tersebut wajib dikuasai oleh peserta
didik agar dapat menguasai ilmu terapan. Di samping itu, khususnya di negara
maju, ilmu dasar dijadikan tolak ukur keberhasilan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, sehingga negara-negara maju memiliki perhatian lebih
pada ilmu-ilmu dasar. Untuk dapat bersaing dengan negara lain, Indonesia sangat
memerlukan kualitas hasil pendidikan, termasuk penguasaan IPTEK yang semakin
baik, ini berarti kebutuhan penguasaan ilmu-ilmu dasar di Indonesia sangat
mendesak.
Matematika adalah
bagian dari Ilmu dasar selain Sains dan Bahasa. Matematika adalah ilmu universal
yang mendasari perkembangan teknologi modern, dan mempunyai peran penting dalam
berbagai disiplin ilmu dan memajukan daya pikir manusia. Matematika perlu
diberikan kepada peserta didik dimulai dari Sekolah Dasar untuk membekali
peserta didik dengan kemampuan berpikir kritis, logis, sistematis, analitis,
dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Namun, Matematika juga menjadi
perhatian umum bagi pihak-pihak terkait, bukan hanya karena matematika adalah
bagian dari ilmu dasar, tapi karena pendidikan Matematika di tingkat Sekolah
Dasar memprihatinkan. Banyak siswa Sekolah Dasar yang menganggap Matematika
adalah pelajaran yang sulit, menakutkan,
bahkan tidak jarang siswa mogok sekolah karena matematika. Selama ini,
matematika dan bahasa Inggris merupakan pelajaran penting bagi setiap sekolah.
Namun penyajian kedua mata pelajaran tersebut seringkali membuat anak kesulitan
(Kompas Klasika. 20 Januari 2013). Menurut
Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas, hal ini disebabkan karena Matematika
merupakan suatu bahan kajian yang memiliki objek abstrak dan dibangun melalui
proses penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep diperoleh sebagai akibat
logis dari kebenaran sebelumnya sudah diterima, sehingga keterkaitan antar
konsep dalam Matematika bersifat sangat kuat dan jelas. Namun, menurut sumber
yang sama dijelaskan bahwa agar Matematika mudah dimengerti oleh siswa, proses
penalaran induktif dapat dilakukan pada awal pembelajaran dan kemudian
dilanjutkan dengan proses penalaran deduktif untuk menguatkan pemahaman yang
sudah dimiliki siswa.
Saat ini, pembelajaran
Matematika di Sekolah Dasar meliputi bilangan, geometri dan pengukuran, dan
pengolahan data. Sedangkan konsep dasar pembelajaran Matematika adalah
penambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. Pengurangan adalah salah satu
konsep dasar matematika dan merupakan dasar dari pembagian matematika. Pengurangan
juga bermanfaat dalam kehidupan siswa sehari-hari antara lain untuk kegiatan
jual beli. Pentingnya manfaat pengurangan bagi kehidupann siswa, sehingga
pembelajaran pengurangan diupayakan keberhasilannya.
Salah satu faktor
keberhasilan pembelajaran pengurangan di
Sekolah Dasar adalah kemampuan guru untuk memilih, menguasai, dan
menerapkan metode pembelajaran pengurangan. Metode disesuaikan dengan bahan
pelajaran yang diajarkan, kondisi siswa, dan lingkungan pembelajaran. Selama
ini, pembelajaran pengurangan di Sekolah Dasar menggunakan metode yang berpusat
pada guru (teacher centered) seperti
ceramah, tanya jawab, dan pemberian tugas. Sehingga banyak siswa Sekolah Dasar
cepat bosan dengan pembelajaran pengurangan bahkan tertekan saat pembelajaran pengurangan
berlangsung. Guru perlu melakukan inovasi metode pembelajaran pengurangan yang
menyenangkan untuk siswa sehingga dapat meningkatkan prestasi pengurangan yang merupakan
konsep dasar Matematika. Inovasi metode pembelajaran ceramah, tanya jawab, dan
pemberian tugas menjadi metode pembelajaran bermain.
Metode
pembelajaran bermain sangat disukai anak-anak pada umumnya. Apalagi pemanfaatan
metode pembelajaran bermain dengan menggunakan macam-macam permainan
tradisional . Saat ini, permainan tradisional sudah terpinggirkan karena kalah
canggih dengan permainan modern. Padahal, permainan tradisional sangat besar
pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa, fisik, dan mental anak (Sisca, 2012:
173). Selain itu, permainan tradisional juga mengandung pesan moral dan nilai
edukasi (Aachiyadi, 2006, Candra,
diambil 20 Januari 2012). Salah satu permainan tradisional yang dapat
dimanfaatkan sebagai metode pembelajaran yaitu permainan Gatheng.
Berdasarkan latar
belakang masalah yang telah dikemukakan diatas maka makalah ini membahas permainan tradisional gatheng sebagai metode pembelajaran pengurangan Sekolah Dasar.
B. Permainan Tradisional
Menguatnya arus
globalisasi di Indonesia membawa pola kehidupan dan hiburan baru yang mau tidak
mau memberikan dampak tertentu terhadap kehidupan sosial dan budaya masyarakat
Indonesia, termasuk di dalamnya kelestarian permainan tradisional anak-anak.
Budisantoso, dkk (dalam Sukirman Dharmamulya dkk, 2008: 29) mengatakan bahwa permainan tradisional anak
merupakan unsur-unsur kebudayaan yang tidak dapat dianggap remeh, karena
permainan tradisional memberikan pengaruh yang tidak kecil terhadap
perkembangan kejiwaan, sifat, dan
kehidupan sosial di kemudian hari. Selain pengertian tersebut, masih ada
perspektif tentang permainan tradisional yaitu perspektif fungsional,
permainan, psikologis, adaptasi.
1.
Perspektif Fungsional: Bermain sebagai upaya mempersiapkan diri menjadi
orang dewasa.
Pelopor teori fungsionalisme adalah Bronislaw Malinowski,
ahli antropologi. Dia menyatakan bahwa permainan perlu diketahui nilai
pendidikannya, dan lebih dari itu juga hubungannya dengan fungsinya untuk “preparation for economic skills”.
Pembekalan keterampilan-keterampilan ekonomi (Sukirman Dharmamulya dkk, 2008: 21). Berbagai
permainan anak, misalnya “pasaran”, “dokter-dokteran”, “sekolah-sekolahan” dan sebagainya, yang biasa disebut “role play” (bermain peran), merupakan
contoh dari permainan tradisional yang mempunyai fungsi mempersiapkan anak-anak
untuk memainkan peran yang sebenarnya ketika mereka dewasa nanti.
George H. Mead (dalam Sukirman Dharmamulya dkk, 2008: 21) meyatakan bahwa permainan seperti ini juga
merupakan sebagian dari kondisi-kondisi yang memungkinkan si anak melakukan “objectivication the self”. Melalui
kegiatan bermain anak-anak akan dapat membayangkan dirinya berada dalam
berbagai kedudukan dan peran, dan dengan demikian anak-anak akan dapat
membangun karakternya sebagai persiapan menjadi orang dewasa. Dalam bermain,
seorang anak harus memperhatikan anak-anak lain yang berbeda perannya, tetapi
berinteraksi dengannya.
2.
Perspektif Bermain: Bermain Sebagai Permainan.
Kajian tentan permainan anak dengan perspektif permainan banyak dikerjakan oleh ahli folklor di akhir
abad 19. Hasilnya lebih banyak bersifat deskriptif. Para ahli ini hanya
menggambarkan jenis-jenis permainan yang ada dengan berbagai macam
peralatannya, sedang proses sosial dari permainan itu sendiri banyak yang
terlupakan. Para ahli juga beranggapan bahwa game (permainan) adalah wujud yang
paling jelas dari bermain.
3.
Perspektif Psikologis: Bermain Sebagai Wujud Kecemasan dan Kemarahan
R.R Eiferman (dalam Sukirman Dharmamulya, 2008:24)
mencoba mengetahui perbedaan sifat anak di desa dengan anak-anak di kota dengan
memperhatikan permainan yang ada di kalangan mereka. Hipotesanya mengatakan
bahwa anak-anak pedesaan memiliki lebih banyak kesempatan untuk terlibat dalam
dunia orang dewasa dibandingkan dengan anak-anak kota. Hal tersebut berdampak
anak-anak pedesaan tidak akan mengalami konflik yang begitu keras, sehingga
mereka juga akan kurang tertarik pada “competitive
games” yang dibangun atas dasar konflik, kecemasan, dan kemarahan.
4.
Perpesktif Adaptasi: Bermain Sebagai peningkatan Kemampuan Beradaptasi.
Ada dua teori yang berhubungan dengan adaptasi makhluk. Teori
tersebut adalah teori arousal dan teori educational. Teaori arousal menjelaskan
fenomena bermain adalam jangka pendek, sedangkan teori educational menjelaskan
pemahaman bersifat jangka panjang. Dalam teori arousal dikatakan bahwa setiap
anak pada dasarnya mempertahankan “an
optimal level of arousal” dan ini berarti bahwa setiap anak menginginkan
perubahan. Teori kedua, yaitu teori pendidikan, pada dasarnya tidak jauh
berbeda dengan pendekatan fungsional. Lancy (dalam Sukirman Dharmamulya, 2008: 26)
menyatakan bahwa bermain dapat “serve as
an educational medium to exercise and improve the young animal’s survival and
reproductive skills”. Ternyata bermain bukanlah kegiatan yang tidak
bermakna, terutama bagi anak-anak. Bermain adalah upaya membekali anak-anak
dengan kemampuan tertentu agar dapat bertahan hidup dalam lingkungannya. Contoh
permainan yang mengandung kemampuan adaptasi menurut teori pendidikan adalah
permainan gatheng.
C. Permainan Tradisional Gatheng
Permainan gatheng adalah permainan yang menggunakan watu (batu) sebagai alatnya. Batu
tersebut disebut watu gatheng atau watu cantheng. Permainan gatheng mirip dengan permainan bekelan,
sehingga banyak yang mengatakan permainan gatheng
adalah permainan bekelan atau sebaliknya. Tempat untuk bermain gatheng di halaman rumah, dalam rumah, teras,
atau pendapa.
Permainan gatheng
merupakan permainan yang mudah, murah, sederhana dan tidak memakan waktu yang
lama. Permainan ini bersifat kompetitif perorangan. Permainan ini menerapkan
hukuman bagi yang kalah namun ada yang tidak menerapkan hukuman. Gatheng memerlukan kejujuran dan
keterampilan para pemainnya.
Permainan ini sudah lama keberadaannya yaitu pada jaman
Mataram (XVII). Putra raja waktu itu yaitu Raden Rangga memiliki alat bermain watu gatheng (batu gatheng) yang sangat besar. Batu gatheng tersebut kini tersimpan baik di Kotagede, Yogyakarta. Batu gatheng tersebut menunjukkan bahwa Raden
Rangga adalah orang yang sakti. Kini permainan gatheng di desa menggunakan batu, sedangkan di kota menggunakan
bekel dan kuningan.
Pemain gatheng
berjumlah 2-5 orang anak. Permainan tersebut bersifat perorangan. Gatheng pada mulanya dimainkan oleh anak-anak
perempuan, tapi sekarang dimainkan bersamaan antara anak laki-laki dan
perempuan. Batu gatheng ditentukan
oleh kesepakatan pemain. Ada lima, sepuluh, dan paling banyak adalah 20. Tempat
permainan tidak begitu luas, namun cukup bagi lima orang anak. Berikut ini adalah jalan permainan gatheng
dengan empat pemain:
a.
Masing-masing peserta membawa dadu sendiri-sendiri. Dadu bisa dari batu
yang diambil dari sekitar anak.
b.
Menyiapkan tempat serta kerikil sebanyak lima buah.
c.
Mengundi pemain pertama dengan hompipah.
d.
Pemain pertama menyebar lima buah kerikil ke arena permaianan sambil
melemparkan dadunya ke atas. Pemain menyebar biji tersebut sampai biji tidak
saling berdempetan.
e.
Kemudian pemain tersebut mengambil salah satu kerikil sambil melemparkan
dadunya.
f.
Apabila kerikil tersebut tidak dapat diambil, pemain tidak boleh meneruskan
bermain, mati. Begitu juga bila pemain tidak dapat menangkap kembali dadu yang
dilemparkan ke atas, maka pemain tidak boleh meneruskan bermain digantikan oleh
pemain lainnya.
g.
Pemain kedua tersebut mengambil salah satu kerikil dari sambil melemparkan
dadunya. Begitu seterusnya sampai kerikil habis terambil.
h.
Setelah kerikil habis, pemain kedua dapat melanjutkan level permainan gatheng yang disebut Garo. Garo adalah mengambil dua kerikil secara bersamaan sambil melempar
dadunya.
i.
Setelah Garo selesai, pemain
kedua melanjutkan dengan Galu. Galu adalah mengambil tiga kerikil
secara bersamaan sambil melempar dadunya.
j.
Setelah Galu selesai, pemain
kedua melanjutkan dengan Gapuk. Gapuk adalah mengambil empat kerikil yang
telah disusun sedemikian rupa bersamaan sambil melempar dadunya.
k.
Begitu seterusnya sampai jumlah kerikil habis diambil bersamaan. Peraturan
ini disepakati saat awal permainan. Ada yang hanya sampai Garo atau Galu.
l.
Setelah tahapan permainan selesai, pemain kedua tersebut mendapat sawah
satu yang ditulis di tanah sekitar pemain kedua. Permainan dilanjutkan oleh pemain
ketiga mulai dari tahap awal. Sedangkan apabila pemain pertama memainkan
permainan, maka pemain tersebut meneruskan permainan saat mati, tidak memulai
dari awal.
m.
Nggenjeng boleh dilakukan
boleh tidak. Nggenjeng adalah hukuman
bagi peserta yang paling sedikit mendapat sawah. Peserta kalah duduk slonjor (duduk dengan kaki lurus ke
depan) dan mata tertutup. Kemudian pemain yang menang memukul pelan-pelan (gethok atau nggethok) lutut kiri pemain yang slonjor tadi dengan tangankirinya; sedangkan tangan kanannya
menyembunyikan lima kerikil yang digunakan untuk bermain pada tempat tertentu
yang sulit dicari oleh pemain yang kalah. Sewaktu memukul lutut, pemain yang
mennyanyikan lagu genjeng dengan syair sebagai berikut :
Genjeng-genjeng,
Debog bosok jambe
wangen,
Mur murtigung mur
murtigung,
Walang kadung
dening cekung,
Rondhe-rondhe,
Pira satak pira
lawe,
Salawe aja na
badhe,
Picak jengkol pira
kiye,
Cakuthu cakuthu,
Badhoganmu tahu
basu,
Aku dhewe carang
madu.
Sewaktu sampai pada kalimat carang madu, tangan kanan
yang kebetulan memegang kerikil diacungkan kepada yang kalah. Pemain yang kalah
harus menebak jumlah kerikil yang digenggam tadi. Bila tebakan tidak tepat,
maka hukuman dimulai dari para pemain lainnya diiringi dengann lagu yang sama.
Apabila tebakan sudah tepat, permainan dapat dimulai dari awal.
Di daerah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta
sampai saat ini permainan tradisional masih memiliki penggemar. Sekarang gatheng dikenal dengan nama Bekelan.
Alat permainan bekelan banyak dijual di toko mainan, sedangkan gatheng yang sesungguhnya hanya
menggunakan kerikil yang dapat didapatkan di sekitar rumah.
D. Metode Pembelajaran Matematika SD
Titik pusat pembelajaran adalah metode pembelajaran. Metode
pembelajaran adalah salah satu unsur pembelajaran yang sangat penting. Eugene
Ehrlich (dalam Fathurohman & Wuri Wuryandari, 2011: 30). Menurut Sagala,
metode adalah cara yang digunakan oleh guru/ siswa dalam mengolah informasi
yang berupa fakta, data, dan konsep pada proses pembelajaran yang mungkin
terjadi dalam suatu strategi. Metode pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar
adalah cara yang digunakan oleh guru dan siswa agar mencapai aspek yang ingin
dicapai dalam pembelajaran Matematika. Guru sebagai sumber belajar Matematika
berkewajiban menyediakan lingkungan belajar yang kreatif untuk kegiatan belajar
siswa.
Guru dalam memilih metode pembelajaran matematika
dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Winarno Surakhmad (dalam Syaiful Bahri
Djamarah & Aswan Zain, 2006: 78) mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi pemilihan dan penentuan metode pembelajaran, sebagai berikut:
1.
Anak didik
Anak didik atau siswa menjadi faktor yang sangat penting.
Karakteristik siswa menjadi pertimbangan guru dalam memilih metode. Sebagai
contoh: karakter siswa tidak bisa diam, maka guru sebaiknya tidak melakukan
metode ceramah.
2.
Tujuan
Tujuan adalah sasaran yang akan dicapai dalam suatu
pembelajaran. Metode adalah cara memperoleh tujuan. Maka pemilihan metode harus
didasarkan pada tujuan agar tujuan tersebut dapat dicapai.
3.
Situasi
Situasi belajar siswa sebaiknya berbeda dari hari ke
hari. Situasi yang sama akan membuat siswa bosan. Kebosanan tersebut bisa
mengganggu semangat dan konsentrasi dalam belajar. Penggunaan metode yang tepat
dan variatif sangat dibutuhkan guru untuk memodifikasi situasi belajar siswa.
4.
Fasilitas
Fasilitas adalah kelengkapan yang menunjang pembelajaran
siswa di sekolah. Ketersediaan fasilitas menunjang kegiatan pembelajaran dengan
berbagai macam metode.
5.
Guru
Guru memiliki karakteristik mengajar yang berbeda-beda.
Karakteristik tersebut mempengaruhi metode pembelajaran yang dilakukan. Guru yang
senang bicara, lebih sering menggunakan metode bercerita. Berbeda dengan guru
yang cenderung pendiam, lebih sering menggunakan metode tanya-jawab atau
latihan.
Metode pembelajaran matematika di Sekolah Dasar
bermacam-macam sama seperti pada metode pembelajaran pada mata pelajaran lain. Metode
tersebut antara lain ceramah, demonstrasi, tanya jawab, diskusi, pemecahan
masalah dan inquiry. Namun, guru di
Sekolah Dasar cenderung menggunakan metode ceramah untuk pembelajaran, termasuk
pembelajaran pengurangan Matematika.
E. Metode Pembelajaran Pengurangan SD
Banyak guru menggunakan metode ceramah untuk pembelajaran
Matematika, termasuk pada saat pembelajaran pengurangan. Hal tersebut membuat
hasil pembelajaran pengurangan pada siswa Sekolah Dasar kurang maksimal. Laporan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Suryanto dan Blazely (1997) terhadap 1200
siswa kelas I (yang baru lulus dari Sekolah Dasar) di 16 SLTP dari tiga
provinsi sampel, yaitu Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan
menyatakan bahwa prosentase hasil tes kemampuan pengurangan desimal yang
menjawab benar hanya 29 % dan pengurangan bilangan biasa 69 % (Herry Sukarman,
2004, Fasilitator, diambil 21 Januari
2013).
Fakta tersebut mendorong para guru mengubah metode
pembelajaran pengurangan di Sekolah Dasar. Perubahan metode pembelajaran
pengurangan di Sekolah Dasar harusnya disesuaikan dengan gaya belajar anak. Gaya
belajar secara umum dapat dibagi dalam tiga jenis beikut ini :
1.
Gaya belajar visual. Anak yang memiliki gaya belajar visual, belajar
melalui melihat. Mereka senang melihat peragaan atau menonton video.
2.
Gaya belajar auditori. Anak yang memiliki gaya belajar auditori, belajar
melalui mendengar. Mereka senang mendengarkan rekaman tape, ceramah/ kuliah, debat,
diskusi, dan perintah-perintah lisan (verbal).
3.
Gaya belajar kinestetik. Anak yang memiliki gaya belajar kinestetik,
belajar melalui kegiatan-kegiatan fisik yang melibatkan diri secara langsung.
Mereka senang bergerak, berpartisipasi, menyentuh, dan mengalami sendiri
(Tessie Setiabudi & Joshua Maruta, 2012: 68).
Untuk memenuhi
gaya belajar siswa yang bermacam-macam, guru kelas dapat menggunakan metode
permainan sebagai metode pembelajaran pengurangan. Dengan metode permainan,
siswa dengan gaya belajar visual akan melihat peragaan pengurangan. Siswa
dengan gaya belajar auditori akan mendengarkan instruksi dari guru dan
keterangan dari guru tentang pengurangan. Sedangkan siswa dengan belajar
kinestetik akan langsung memperagakan permainan tersebut. Permainan yang tepat
saat pembelajaran pengurangan berlangsung adalah permainan gatheng, yaitu salah
satu permainan tradisional di Pulau Jawa.
F. Permainan Tradisional Gatheng Sebagai Metode Pembelajaran
Pengurangan Sekolah Dasar.
Permainan tradisional gatheng
sebagai metode pembelajaran dapat digunakan oleh guru saat mengenalkan konsep
pengurangan pada kelas bawah. Selain memiliki kesesuiaan dengan gaya belajar
anak, metode permainan tradisional sebagai metode pembelajaran juga sesuai dengan
perkembangan intelektual siswa. Siswa pada kelas rendah Sekolah Dasar memiliki
tahapan intelektual konkret (the concrete
operational). Pada tahap ini siswa mulai dapat memahami logika secara
stabil. Klaisifikasi anak pada tahap ini antara lain sebagai berikut :
1.
Siswa dapat membuat klalsifikasi sederhana, mengklasifikasikan objek
berdasarkan sifat-sifat umum, misalnya warna, klasifikasi dan karakter
tertentu.
2.
Siswa dapat membuat urutan sesuatu secara semestinya, misalnya mengurutkan
angka.
3.
Siswa mulai dapat mengembangkan imajinasinya dan adanya perkembangan dari
pola pikir egosentris menjadi lebih mudah untuk mengidentifikasi sesuatu dengan
sudut pandang yang berbeda.
4.
Siswa mulai berpikir argumentatif dan dapat memecahkan masalah sederhana.
Dalam pembelajaran pengurangan guru tidak boleh hanya
ceramah karena siswa berada dalam tahapan intelektual konkret. Contoh
pembelajaran pengurangan pada Sekolah Dasar pada umumnya adalah sebagai
berikut: 10 dikurangi 1 ada 9. Tunjukkan 10 jari tanganmu, masukkan 1 jari.
Jadi jari yang berdiri ada 9. Jadi, sepuluh dikurangi satu ada sembilan.
Apabila guru hanya memberikan cara tersebut kepada siswa,
siswa dapat mengalami kebosanan. Guru perlu merancang strategi untuk memudahkan
siswa dalam konsep pengurangan dan siswa tidak bosan. Guru dapat mengemas
pembelajaran dengan metode permainan gatheng.
Guru memberi contoh jalan permainan dan aturan permainan gatheng. Aturan permainan gatheng dalam
pembelajaran pengurangan sama dengan permainan gatheng tradisional yaitu
setelah mengambil satu-satu, diteruskan dengan garo, galu, dan gapuk.
Setelah menjelaskan guru membagi siswa ke dalam rombongan berpasang-pasangan.
Guru menyuruh siswa mengumpulkan alat permainan gatheng yaitu dadu untuk masing-masing siswa dan sepuluh kerikil. Siswa
diberi kebebasan memilih tempat bermain, namun tidak boleh terlalu jauh dari
kelas. Pada saat permainan berlangsung, guru mengawasi jalannya permainan
gatheng yang dilakukan oleh siswa.
Saat permainan berlangsung, siswa secara tidak langsung
sudah belajar pengurangan. Siswa mengambil salah satu kerikil atau du kerikil
dari arena permainan, disini pengurangan terjadi. Contoh: 10 kerikil di arena
permainan diambil 1 buah kerikil oleh siswa A, maka kerikil di arena permainan
tinggal 9. 10 kerikil di arena permainan diambil 2 kerikil oleh siswa B, maka
kerikil di arena permainan tinggal 8.
Setelah siswa melakukan permainan gatheng, guru membahas
pengurangan bersama-sama dengan menggali pengalaman siswa melakukan permainan gatheng menggunakan kalimat interaktif.
Contoh: “Apa yang kita lakukan baru saja ?”; “Siapa tadi yang menang?”; “Berapa
jika 10 kerikil diambil 1 kerikil?”; “ Berapa hasilnya jika 10 kerikil diambil
2 kerikil?”. Siswa akan mengungkapkan pengalaman bermain dengan senang dan
komunikatif.
Setelah itu, guru melakukan evaluasi siswa dengan
menggunakan angka-angka yang ditemui saat bermain gatheng sebagai uji kompetensi siswa dalam pemahaman pengurangan. Guru
dapat melakukan apresiasi atas keberhasilan pembelajaran pengurangan kepada
siswa. Apreiasi terhadap keberhasilan siswa, dapat dilakukan dengan menggunakan
kata-kata pujian dan tepuk tangan. Hukuman dalam metode pembelajaran
pengurangan boleh dilakukan boleh tidak tergantung pada kebijaksanaan guru dan
kesepakatan siswa.
G. Penutup
1. Simpulan
Berdasarkan uraian pada bab-bab terdahulu, berikut
dirumuskan beberapa catatan sebagai simpulan.
a.
Penggunaan permainan tradsional dalam pembelajaran merupakan salah satu
upaya untuk melestarikan permainan tradisional yang hampir hilang. Salah satu
penggunaannya adalah dalam metode pembelajaran. Permainan tradisional yang
memiliki banyak macam dapat dipilih dan disesuaikan dengan materi pelajaran
pada mata pelajaran tertentu.
b.
Permainan tradisional memenuhi gaya belajar anak, baik gaya belajar visual,
gaya belajar auditori, bahkan gaya belajar kinestetik.
c.
Salah satu contohnya adalah permainan tradisional gatheng sebagai metode pembelajaran pengurangan Sekolah Dasar.
Gatheng adalah permainan tradisional dari Jawa Tengah dan Daerah Istimewa
Yogyakarta. Permainan tradisional gatheng
menggunakan peralatan sederhana yaitu batu kerikil. Aturan dan jalannya
permainan disepakati oleh para pemain.
d.
Aplikasi permainan gatheng
kedalam metode pembelajaran pengurangan, diharapkan siswa tidak mengalami kebosanan
dalam belajar pengurangan dan mendapatkan pembelajaran dengan proses yang
menyenangkan.
2. Saran
a.
Sekolah dan guru haruslah ikut serta dalam pelestarian permainan
tradisional karena permainan tradisional melibatkan aspek-aspek kesiswaan yang
sedang berkembang.
b.
Sebaiknya guru melakukan pembelajaran matematika yang menyanangkan dan
tidak membuat siswa takut untuk belajar matematika.
Daftar Pustaka
Abdullah, Solichan. Hak
Azasi Siswa Dalam Pembelajaran Matematika. Fasilitator, Edisi IV/ Tahun 2004, hal. 8.
Achiyadi. Permainan
Tradisional Perlu Dilestarikan. Candra, Edisi V 2006, hal. 19.
Dharmamulya, Sukirman dkk. 2008. Permainan Tradisional Jawa Sebagai Upaya Pelestarian. Yogyakarta: Kepel Press.
Djamarah, Syaiful Bahri & Zain, Aswan. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta:
Rineka Cipta.
Fathurrohman & Wuryandari, Wuri. 2011. Pembelajaran PKn Di Sekolah Dasar. Yogyakarta: Nuha Litera.
Kompas Klasika. Minggu, 20 Januari 2013. Serunya Matematika dan Bahasa Inggris.
Masrukan. Matematika
dan Alat Peraga. Fasilitator, Edisi IV/ Tahun 2004, hal. 30.
Setiabudi, Tessie & Maruta, Joshua. 2012. Cerdas Mengajar Dampingi Anak Belajar dengan
13 Kiat Jitu. Jakarta: Gramedia.
Sisca. 2012. Aneka
Permainan Outbond Untuk Kecerdasan & Kebugaran. Yogyakarta: Bintang Cemerlang.
Sukarman, Herry. Pengembangan
dan Inovasi Pendidikan Matematika di Sekolah Dasar dan Permasalahannya. Fasilitator, Edisi IV/ Tahun 2004, hal. 48.
0 komentar:
Posting Komentar